Corona Divorce..
Meningkatnya angka perceraian selama masa karantina (lockdown) di beberapa negara, telah memunculkan suatu fenomena baru termasuk di Indonesia.
Selama masa karantina atau pembatasan sosial karena pandemi Covid (Corona) yang hampir terjadi disemua negara di dunia telah mengubah tatanan sosial dalam masyarakat pada umumnya.
Pembatasan ruang gerak dan pembatasan interaksi sosial telah memunculkan dampak yang besar dalam perilaku sosial manusia.
Kegiatan work from home (wfh) dan penggunaan tehnologi menggantikan interaksi sosial langsung, nyata nya tak dapat menggantikan manusia sebagai mahluk sosial.
Beberapa slide berita dari beberapa surat kabar yang kami tampilkan memberikan informasi kepada kita, bahwa fenomena peningkatan kasus perceraian adalah suatu kenyataan yang memprihatinkan, walaupun disatu sisi pada awalnya kita berpikir bahwa kegiatan dirumah bersama keluarga yang lebih intens karena pembatasan ini, akan membawa dampak positif terhadap hubungan keluarga yang lebih sehat dan erat.
Faktanya kini telah mulai timbul dampak negatifnya berupa kasus perceraian.
Selama pandemi Corona dan pembatasan sosial ini, faktanya bahwa kami lebih banyak menangani konsultasi perkawinan dibanding kasus konsultasi terhadap masalah terkait Covid (psikosomatis).
Hal ini selaras dengan informasi berita terkait peningkatan kasus perceraian.
Mengapa hal ini terjadi?
Bahkan terasa bahwa permasalahan pernikahan ini lebih berat dibanding permasalahan pendemi Corona itu sendiri.
Apa yang sesungguhnya terjadi?
Work from home dan pembatasan interaksi sosial nyatanya telah berdampak pada “kelelahan mental” dalam siklus kehidupan sosial berupa ketakutan dan kekhawatiran serta ketidakpastian kondisi.
Kondisi ekonomi sebagai sebuah dasar telah mulai memunculkan permasalahannya yang berdampak kepada hampir semua sektor usaha, baik terhadap pengusaha atau pun para pekerja.
Hal yang ingin kami sampaikan bahwa semua hal tersebut telah mulai mengganggu kesehatan mental yang berdampak nyata pada relasi hubungan dalam sebuah pernikahan dan sendi-sendi keluarga.
Bilamana sebelum terjadi pandemi Covid19, setiap individu masih melakukan kegiatan interaksi sosial seperti biasanya bahkan tak jarang kesibukan dan waktu bersama keluarga pun terbatas.
Serimgkali gangguan kesehatan mental yang telah ada sebelumnya tak nampak karena kesibukan masing-masing, namun kali ini sang Covid19 (Corona) telah menguji daya tahan kesehatan mental setiap pasangan dalam menjalani masa-masa sulit ini.
Tak dipungkiri bahwa faktor ekonomi dan pembatasan sosial telah menjadi pemicu munculnya kasus perceraian ini.
Namun permasalahan kesehatan mental melalui berbagai masalah bukan disebabkan karena Covid19, hanya saja permasalahan itu “terbuka” dan memuncak bersamaan dengan kondisi Covid19.
Gangguan kesehatan mental tersebut telah ada sebelum Covid19, hanya saja masih bisa dihindarkan dengan aktivitas sosial dan berkegiatan sehari-hari.
Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa gangguan kesehatan mental merupakan masalah yang “tersembunyi” dan cenderung diabaikan namun nyata.
Kesehatan mental yang baik adalah sebagai landasan dasar untuk menyelesaikan setiap masalah dengan pemikiran dan sikap yang bijak.
Pertimbangan yang baik akan muncul dalam kondisi kesehatan mental yang baik, yang tentunya akan memberikan daya tahan dalam menyelesaikan masalah.
✔ Sebuah kebahagiaan akan dirasakan nyata dengan kondisi kesehatan mental yang baik, sekalipun setiap permasalahan selalu memyertai. Bukan kah kebahagiaan merupakan cita-cita setiap insan manusia?
🌟 HAPINESS is Blessing, but MENTAL HEALTH is the way…